SERANG | Bantenpopuler.com — Kasus dugaan pengusiran wartawan oleh oknum Kepala Urusan Keamanan Dalam (Kaur Kamdal) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, R. Rauf, pada 16 November 2023 lalu, kembali menuai sorotan. Hingga kini, kasus tersebut masih jalan di tempat dan belum mendapat tindak lanjut dari pihak Kejati Banten.
Peristiwa yang menimpa wartawan Rudi Tumpal Manurung itu dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi jurnalis serta pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ketua Umum Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara dan Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI), Tb. Rahmad Sukendar, atau yang akrab disapa Kang Tebe, turut angkat suara.
Dalam keterangannya yang dikutip dari Nodeal.id, Kang Tebe menilai sikap arogan oknum Kejati Banten itu tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak citra lembaga Kejaksaan.
“Jika dibiarkan, perilaku seperti itu bisa menimbulkan stigma negatif terhadap Korps Adhyaksa. Institusi Kejaksaan harus menindak tegas, agar tidak terkesan membiarkan kesewenang-wenangan,” tegas Kang Tebe.
Ia menambahkan, wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik memiliki hak mencari dan memperoleh informasi tanpa halangan. “Tindakan penghalangan tugas jurnalistik adalah pelanggaran hukum dengan ancaman dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta,” ujarnya menegaskan.
Kasus ini bermula dari undangan klarifikasi yang disampaikan oleh R. Rauf kepada Rudi Tumpal Manurung pada 16 November 2023. Dalam pertemuan itu, Rauf menanyakan alasan pengambilan gambar Aula Kejati tanpa izin resmi.
Rudi menjelaskan bahwa dokumentasi tersebut telah dilakukan sejak tahap awal pembangunan Aula Kejati Banten yang dibiayai dari dana hibah APBD Provinsi Banten Tahun Anggaran 2021–2022. Namun, penjelasan itu justru memicu kemarahan Rauf, yang kemudian mengusir Rudi secara tidak pantas dari ruang PTSP Kejati Banten hingga ke gerbang keluar.
Meski kejadian itu telah dilaporkan ke Polisi dan Ombudsman Banten, hingga kini tidak ada kejelasan tindak lanjut. Publik menilai, sikap diam Kejati seolah menunjukkan bahwa sang oknum kebal hukum.
Pada 3 Juli 2025, korban akhirnya dipanggil oleh Bidang Asisten Pengawasan (Aswas) Kejati Banten untuk memberikan keterangan dalam Berita Acara Wawancara (BAW).
Menurut penyidik, hasil pemeriksaan dijanjikan akan selesai dalam waktu 14 hari. Namun, sejak pemeriksaan pada 7 Juli 2025, hingga kini, 17 Oktober 2025, belum ada kejelasan hasilnya.
Saat ditemui korban di ruang PTSP Kejati, salah satu penyidik bernama Pantja menyebut bahwa hasil pemeriksaan telah diserahkan ke Komisi Kejaksaan (Komja).
“Sudah kami serahkan ke Komja. Kami masih menunggu hasil balasan dari mereka,” ujar Pantja.
Sementara itu, upaya konfirmasi Bantenpopuler.com kepada Kasi Penerangan Hukum Kejati Banten, Rangga Adekresna, juga tak membuahkan hasil. Sejak dua tahun kasus ini bergulir, Penkum Kejati Banten terkesan tertutup terhadap permintaan informasi publik.
Sikap bungkam Kejati Banten ini memicu kritik dari berbagai pihak. Kalangan masyarakat dan pemerhati hukum menilai, ketertutupan dan lambannya penanganan kasus bisa meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum tersebut.
“Keterbukaan informasi dan tanggung jawab etis seharusnya menjadi bagian dari profesionalisme lembaga negara. Jika dibiarkan berlarut-larut, ini bisa menjadi preseden buruk bagi Kejaksaan,” ujar salah satu pemerhati hukum di Banten.
Kasus ini menjadi cerminan penting bahwa kebebasan pers bukan sekadar prinsip, melainkan fondasi utama demokrasi. Aparatur negara diharapkan mampu menjunjung tinggi transparansi dan menghormati profesi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
(Redaksi: Bantenpopuler.com — Tajam Menganalisis, Santun Menyampaikan)


















