Lebak, Bantenpopuler.com — Kejadian bermula saat malam mulai merangkak menuju pukul 20.00 WIB di kawasan perkantoran Kabupaten Lebak, dua remaja perempuan penyandang disabilitas tuna rungu — RU (20) dan SF (20) — mengaku tanpa sengaja menyaksikan adegan yang mengejutkan di salah satu ruangan kantor Bapelitbangda. Dalam kondisi menyaksikan lewat jendela dan gorden yang terbuka, mereka menyatakan melihat dua orang laki‐laki dan satu orang perempuan dalam posisi yang mereka nilai sebagai perbuatan mesum.
Khususnya, menurut pendamping dan penerjemah bahasa isyarat yang mendampingi keduanya, RU dan SF mendeskripsikan dengan gerakan isyarat secara konsisten: “…di sini” (menunjuk ruangan lantai bawah) kata RU sambil menunjukkan titik kejadian. SF mengisyaratkan posisi perempuan terlentang dan laki‐laki di atasnya. Keduanya kemudian mengatakan bahwa seorang laki‐laki membuka tirai/gorden dan membentak mereka sehingga mereka lari ketakutan.

Mengapa Kesaksian Penyandang Tuna Rungu Patut Diberi Bobot
Dalam literatur kajian psikologi dan forensik, saksi penyandang disabilitas — khususnya tuna rungu — memiliki karakteristik yang penting ketika menjadi saksi. Sebuah penelitian oleh S. Porter et al. menemukan bahwa anak‐anak tuna rungu dan anak‐anak pendengar memiliki jumlah informasi yang sama dalam “free recall” (mengingat bebas), meskipun akurasi mereka terhadap pertanyaan tertarget atau “directive questions” cenderung menurun bila mereka tidak dilatih dengan baik.
Lebih lanjut, kajian yuridis di Indonesia menunjukkan bahwa keterangan saksi tuna rungu memiliki nilai alat bukti yang sah asalkan didampingi penerjemah bahasa isyarat yang kompeten; tanpa penerjemah, kualitas kesaksian bisa dianggap kurang karena hambatan komunikasi.
Menurut laporan “Being Deaf in Court”, hambatan utama bagi saksi tuna rungu bukan hanya soal pendengaran, melainkan akses bahasa dan komunikasi — sekadar mendengar bukanlah jaminan saksi tersebut memahami seluruh konteks verbal dan non-verbal, bila interpretasi bahasa isyarat atau lip-reading tidak tersedia.
Dalam konteks RU dan SF, pendamping menjelaskan bahwa “anak dengan kebutuhan khusus ketika melihat sesuatu akan menceritakan dengan tanpa adanya rekayasa sedikitpun, namun mereka akan menjadi sulit terbuka jika dalam keadaan tertekan.” Pernyataan ini sejalan dengan temuan bahwa saksi tuna rungu yang mendapatkan lingkungan komunikatif yang baik cenderung menyampaikan apa yang mereka lihat dengan jujur dan langsung.
Keterangan RU dan SF bahwa mereka “tidak sengaja lewat”, “melihat”, dan “langsung lari” memperkuat narasi bahwa mereka bukan pihak yang mencari atau mengatur peristiwa. Hal ini penting dalam menilai kredibilitas saksi. Dalam proses rekonstruksi, mereka menunjukkan titik ruang yang diakses, menunjukkan gorden yang terbuka, dan posisi ketiga orang yang mereka saksikan secara visual dan melalui bahasa isyarat.
Mengingat bahwa saksi tuna rungu cenderung lebih bergantung pada informasi visual—gerak tubuh, posisi, ekspresi—keterangan mereka yang berdasarkan apa yang dilihat menjadi relevan. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun saksi tuna rungu mungkin mengalami keterbatasan dalam menyampaikan informasi verbal kompleks, mereka tidak secara otomatis kurang dapat diandalkan bila diberikan penerjemah yang tepat dan prosedur komunikasi yang layak.
Meski demikian, beberapa tantangan muncul dalam konteks ini:
- Tidak adanya rekaman CCTV di area yang dilaporkan oleh saksi menjadi titik lemah bukti visual yang mendukung.
- Perlunya penerjemah bahasa isyarat independen untuk memastikan bahwa saksi benar-benar mengerti pertanyaan dan bebas dari sugesti.
- Prosedur investigasi yang harus memperhatikan hak penyandang disabilitas agar kesaksian mereka tidak tertolak semata karena hambatan komunikasi.
Kejadian ini memberi sinyal penting: ketika penyandang disabilitas tuna rungu menjadi saksi — terutama dalam dugaan pelanggaran etika atau tindakan tak senonoh di ruang publik pemerintahan — prosedur harus diatur agar kesaksian mereka diakui, dipahami, dan diperlakukan setara. Seperti yang disimpulkan dalam peneliti yuridis: “meskipun secara hukum penyandang disabilitas memiliki hak yang sama di hadapan hukum, tanpa penerjemah bahasa isyarat, keterangan mereka sering dianggap kurang valid.”
Kesimpulan Sementara
Keterangan dua pemudi tuna rungu ini, dalam kerangka investigasi dugaan asusila di lingkungan Bapelitbangda Kabupaten Lebak, menuntut perhatian tidak hanya terhadap peristiwa yang dilaporkan, tetapi juga terhadap mekanisme pengakuan saksi disabilitas. Sebuah institusi publik—apapun besar atau kecil—berada di bawah tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa saksi yang rentan mendapatkan akses komunikasi yang adil. Jika benar dugaan itu terbukti, maka bukan hanya pelaku yang harus dipertanggungjawabkan, tetapi institusi yang gagal menjaga ruang publik agar bebas dari pelanggaran etika.
Tim investigasi Bantenpopuler.com masih melakukan pendalaman terhadap bukti dokumen, wawancara tambahan dan konfirmasi pihak terkait. Publik tetap menanti transparansi pemeriksaan, agar kisah dua saksi pemudi disabilitas ini tidak sekadar menjadi narasi, tetapi bagian dari proses keadilan yang nyata.
Editor | BantenPopuler.com


















