Penulis: Aji Permana
Bantenpopuler.com – Jurnalis atau wartawan adalah profesi yang memiliki tanggung jawab besar: menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat. Namun, keberadaan mereka sering kali dipandang sebagai pengganggu bahkan musuh oleh para penguasa, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Hal ini bukan tanpa alasan. Kehadiran wartawan kerap membuat para penguasa gelisah, sebab keberanian mereka menulis fakta mampu membongkar praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) yang merugikan negara dan rakyat.
Sejarah pers Indonesia mencatat tragedi kelam yang menegaskan rapuhnya perlindungan terhadap wartawan. Hampir 28 tahun lalu, tepatnya 13 Agustus 1996, seorang wartawan harian Bernas asal Bantul, Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, dianiaya hingga tewas oleh orang tak dikenal. Udin sebelumnya menulis serangkaian artikel kritis terhadap pemerintah Orde Baru kala itu, di antaranya:
1. 3 Kolonel Ikut Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul
2. Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak “Invisible Hand” Pengaruhi Pencalonan
3. Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo
4. Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis
Tulisan-tulisan tersebut jelas menyentuh kepentingan elit politik dan membuka borok kekuasaan. Tidak heran bila kematiannya diduga kuat berkaitan dengan karya jurnalistiknya. Namun, hampir tiga dekade berlalu, kasus kematian Udin tetap menjadi misteri. Aparat penegak hukum tak kunjung menyingkap siapa dalang di balik tragedi itu.
Peristiwa Udin menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia. Padahal, risiko menjadi wartawan tidak main-main. Ancaman, intimidasi, bahkan penganiayaan sering kali menghantui mereka yang berani menyingkap kebobrokan kekuasaan.
Kasus serupa kembali terulang baru-baru ini, ketika seorang wartawan media Tribrata TV di Karo, Sumatera Utara, meregang nyawa akibat kekerasan. Dua peristiwa berbeda zaman ini mempertegas: wartawan Indonesia belum sepenuhnya terlindungi.
Padahal, regulasi jelas telah ada. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 8, menegaskan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya berhak memperoleh perlindungan hukum. Namun, praktik di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Undang-undang yang seharusnya menjadi tameng sering kali hanya berhenti di atas kertas.
Dalam negara demokrasi, wartawan adalah garda terdepan penyampai kebenaran. Mereka adalah mata dan telinga publik, sekaligus pengawas jalannya pemerintahan. Karena itu, mereka seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang nyata dan kuat, bukan sekadar formalitas.
Tragedi Udin dan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan seharusnya menjadi pengingat bahwa kebebasan pers tidak boleh hanya menjadi jargon demokrasi. Jika negara gagal melindungi wartawannya, maka demokrasi itu sendiri sedang berada di ujung tanduk.


















